Friday 16 September 2011

gunung merbabu potensial meletus

BOYOLALI (Joglosemar): Gunung Merbabu berpotensi meletus, bahkan Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta memprediksi erupsi Merbabu bisa lebih dahsyat.
”Status Merbabu kini termasuk aktif, namun tipe B, artinya masih ada potensi meletus cuma periode letusannya berkala tidak setiap tahun layaknya Merapi yang statusnya aktif tipe A,” kata Kepala Seksie BPPTK Yogyakarta, Sri Sumarti, Jumat (2/1), di Boyolali.

Menurutnya, kondisi Gunung Merbabu tidak mati total, namun masih berstatus aktif normal tipe B. BPPTK telah mengakaji aktivitas Gunung Merbabu yang dalam beberapa periode silam berstatus aktif tipe A, lalu tenang, namun belum menjadi jaminan tidak akan meletus lagi.
Dijelaskannya, status aktif tipe B periode letusannya puluhan hingga ratusan tahun sekali. Sehingga ketenangan pascaaktifnya Merbabu beberapa tahun silam belum menjadi jaminan bahwa Merbabu benar-benar sudah tidak aktif lagi atau mati sebagai gunung berapi.
Hal itu, lanjut dia, dengan merujuk fenomena gunung berapi di Filipina yang kondisinya nyaris seperti Merbabu dan disangkakan telah mati namun secara mengejutkan terjadi letusan.
”Salah satu gunung di Filipina selama seratus tahun diam, namun secara tiba-tiba letusannya besar, sehingga ancaman bagi Boyolali sebenarnya bukan hanya Merapi saja namun Merbabu juga,” ujar dia.
Jika mengacu pada periode letusan ratusan tahun sekali, kata dia, Merbabu juga perlu diwaspadai. Lebih lanjut Sri Sumarti menjelaskan jenis gunung berapi yang berstatus aktif tipe B ada puluhan yakni gunung-gunung yang pernah aktif namun lama terdiam.
Sedangkan gunung berapi yang statusnya aktif tipe A ada 129 dengan periode letusan dua sampai tujuh tahun. ”Salah satunya yang terkenal aktif di dunia adalah Merapi,” terang dia.
Eksplisit
Aktivitas Merapi pada 2006 lalu, kata Sumarti, masuk kategori letusan eksplisit bukan eksplosit yang benar-benar meletus besar.
Dari hasil letusan eksplisit itu, berhasil menciptakan kubah kerucut yang menampung material vulkanik yang rawan longsor di saat musim hujan saat ini.
Ditambahkan dia, jenis ancaman kedua gunung berapi tersebut ada tiga yakni bahaya primer berupa munculnya awan panas dengan kecepatan luncuran 100 sampai 150 km/jam.
Bahaya kedua adalah bahaya sekunder yakni munculnya lahar dingin dan terakhir adalah bahaya tersier berupa kerusakan lingkungan.
”Bahaya sekunder dan tersier rawan juga dengan munculnya longsoran batu besar,” imbuh dia.
Kemungkinan aktifnya kembali Gunung Merbabu, kata dia, juga didukung potensi wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dikepung tiga lempeng seperti lempeng Indoaustralia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia.
Dari penelitian geologi, terang dia, lempeng Indoaustralia telah menggeser Pulau Jawa rata-rata 10 cm per tahun ke arah utara. (mas)

sumber : http://creativesimo.wordpress.com/2009/01/06/gunung-merbabu-potensial-meletus /

                                                                foto gunung merbabu
gunung merbabu( lihat yang tak berasap) bersebelahan dengan gunung merapi

Rawa Pening


Menurut cerita  Rawa Pening itu sebuah Legenda. Walau tak ada yang tahu pasti, sejak kapan legenda itu muncul dan mengapa kawasan tersebut di sebut Rawa pening, tetap saja masyarakat setempat mengaitkan telaga dengan kemunculan sesosok ular besar yang dianggap keramat. Menurut mereka, di saat-saat tertentu ular tersebut bergerak mengitari telaga untuk memberi berkah bagi orang-orang yang membutuhkan. Mereka sangat menghormati legenda tersebut, sampai-sampai sebuah ornamen dari beton berbentuk ular besar pun di pasang di pintu masuk telaga ini. Ternyata legendanya seru juga. Begini ceritanya : Rawa Pening ada sekitar 1000-2000 tahun yang lalu. Berada 45 km dari kota Semarang. Mata pencaharian penduduk di sana mayoritas adalah Nelayan eceng gondok. Kedekatan masyarakat Rawa Pening dengan rawa memunculkan mitos, bahwa terdapat ular besar yang menempati rawa bernama Baru Klinting. Salah satu nelayan disana katanya pernah melihat Baru Klinting, warnanya kekuning-kuningan, dan mempunyai panjang kurang lebih 50 m. Dikepalanya ada tengger yang sama dengan tengger ayam jago. Siapa sih Baru Klinting sebenarnya? Konon, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan amis. Luka itu tak pernah kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar. Baru Klinting berubah menjadi seorang anak kecil yang mempunyai luka disekujur tubuhnya, dan lukanya menimbulkan bau amis. Baru Klinting berjalan-jalan di desa tersebut, dan melihat anak-anak didesa itu sedang bermain. Muncullah keinginan dihatinya untuk bergabung, namun anak-anak tersebut menolak kehadiran Baru Klinting dan memaki-makinya dengan ejekan. Baru Klinting pun pergi. Ditengah jalan, perutnya mulai lapar, dan Baru Klinting mendatangi salah satu rumah dan meminta makan. Saat itu Baru Klinting pun kembali di tolak bahkan di maki-maki. Desa tersebut adalah desa yang makmur, namun penduduk di Desa itu sangatlah angkuh. Sampai suatu hari ada seorang Janda tua (Nyai) yang baik dan mau menampung dan memberi makan Baru Klinting. Setelah selesai makan, Baru Klinting berterimakasih kepada Nyai, sambil berkata, "Nyai, kalau Nyai mendengar suara kentongan, Nyai harus langsung naik ke perahu atau lisung ya?", kemudian Nyai tersebut menjawab "Iya". Ketika Baru Klinting sedang di perjalanan meninggalkan komunitas tersebut, Baru Klinting bertemu dengan anak-anak yang sering menghinanya dan langsung mengusir Baru Klinting dengan kata-kata kasar. Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya. Satu persatu mulai berusaha mencabut lidi yang di tancapkan Baru Klinting, namun anak-anak tidak ada yang bisa mencabutnya. Sampai akhirnya orang-orang dewasa yang berusaha mencabut lidi tersebut. Namun hasilnya TETAP TIDAK BISA! Akhirnya Baru Klinting sendiri yang menarik lidi tersebut, karena hanya dia yang bisa mencabutnya (mengingat bahwa dia sakti). Saat itupun keluarlah air dari tanah bekas lidi itu menancap, airnya sangat deras keluar dari tanah, dan terjadilah banjir bandang di Desa Rawa Pening dan menewaskan seluruh masyarakat di desa itu, kecuali Nyai. Setelah lidi tersebut lepas, Baru Klinting langsung membunyikan kentongan untuk memperingati Nyai. Akhirnya Nyai yang sedang menumbuk padi segera masuk ke lisung, dan selamatlah dia. Nyai menceritakan kejadian ini kepada penduduk2 desa tetangganya dan Baru Klinting kembali menjadi ular dan menjaga desa yang telah menjadi rawa tersebut. Begitulah ceritanya. Saat ini Rawa Pening bukanlah malapetaka, namun menjadi kemakmuran bagi masyarakat sekitar, karena rawa tersebut bermanfaat bagi pertanian, budidaya ikan, dan eceng gondok.

berikut panorama indah rawa pening yang diambil oleh beberapa potografer












Asal Mula Salatiga

Dulu, kabupaten Semarang termasuk wilayah Kesultanan Demak. Daerah ini diperintah oleh seseorang bupati bernama Ki Ageng Pendanaran. Beliau seorang bupati yang ditaati rakyat. Selain berwibawa, beliau juga kaya raya.
Akan tetapi, lama kelamaan beliau semakin memperkaya diri sendiri. Beliau tidak lagi memperdulikan rakyatnya.

Sunan Kalijaga, penasihat sultan Demak, bermaksud mengingatkan sang bupati. Dengan berpakaian compang-camping, beliau menyamar sebagai pedagang rumput.
Beliau menawarkan rumput itu kepada ki Ageng. Ki Ageng mau membeli rumput itu dengan harga murah. Sunan Kali jaga tidak mau memberikannya.
Akhirnya, Ki Ageng marah dan mengusir Sunan Kalijaga. Sebelum pergi, Sunan Kalijaga berkata bahwa dia menunjukan cara memperoleh kekayaan kekayaan dengan mudah. Sunan Kalijaga kemudian meminjam cangkul. Sunan Kalijaga kemudian mencangkul tanah di depan kabupaten. Ki Ageng kaget ketika melihat bongkahan emas segede kepala beliau dibalik tanah yang dicangkul Sunan Kalijaga. Ki Ageng lalu memperhatikan pedagang rumput itu dengan seksama. Setelah tahu siapa sebenarnya, ia pun terkejut. Kemudian ia minta maaf. Ia pun bersedia dihukum karena kesalahannya.
Sunan Kalijaga memaafkan Ki Ageng. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Ageng kembali memerintah dengan cara yang benar.
Sejak kejadian itu, hidup Ki Ageng menjadi gelisah. Beliau lalu memutuskan untuk menebus kesalahannya. Beliau meninggalkan jabatan Bupati. Beliau ingin mengikuti jejak Sunan Kalijaga menjadi penyar agama.
Beliau juga berminat pergi ke gunung Jabalkat. Beliau ingin mendirikan pesantren di sana.
Nyai Ageng ingin ikut pergi bersama Ki Ageng. Ki Ageng memperbolehkan Nyi Ageng ikut, tetapi dengan syarat, Nyai ageng tidak memperbolehkan membawa harta benda.
Pada waktu yang ditentukan, Nyai Ageng belum siap. Beliau masih sibuk. Nyai Ageng ternyata mengatur persiapan yang akan dibawanya dengan tongkat bambu. Ki Ageng lalu berangkat duluan.
Setelah siap. Nyai Ageng lalu menyusul. Ditengah jalan, Nyai Ageng dicegat tiga perampok yang meminta hartanya. Akhirnya, semua perhiasan yang dibawa diberikannya kepada para perampok.
Nyai Ageng menyusul Ki Ageng. Setelah bertemu, Nyai Ageng menceritakan peristiwa yang telah dialaminya.
Ki Ageng berkata bahwa kelak, tempat Nyai Ageng dirampok akan bernama “Salatiga”, berasal dari kata salah dan tiga, yaitu tiga orang yang bersalah.
Sekilas Kota Salatiga
Kota Salatiga secara geografis berada di tengah-tengah kawasan segitiga kota besar yang terkenal dengan sebutan “Joglo Semar” yaitu Yogyakarta (± 100 km), Solo (± 50 km) dan Semarang (± 45 km).
Kota Salatiga berada pada ketinggian ± 600 meter di atas permukaan laut, terletak di lereng Gunung Merbabu.
Secara administratif, Kota Salatiga berada di Propinsi Jawa Tengah, di tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tuntang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Getasan dan Tengaran. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tengaran. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Getasan dan Tuntang.
Kota Salatiga mengalami beberapa kali perubahan luas wilayah. Perubahan luas wilayah yang terakhir terjadi pada tahun 1992 dan telah diresmikan pada tahun 1993. Pemekaran wilayah tersebut adalah dari 9 kelurahan, 1 kecamatan menjadi 9 kelurahan dan 13 desa, 4 kecamatan.
Jumlah penduduk Salatiga ± 100.000 jiwa, 90 % diantaranya suku Jawa. Ada juga sedikit WNI keturunan dan suku-suku lain dari berbagai daerah di Indonesia. Bahasa Jawa merupakan bahasa percakapan sehari-hari di kota ini, selain Bahasa Indonesia yang umum digunakan.

foto foto salatiga tempo doloe

                                                            inilah esto tempoe doloe

                                                                          watu rumpuk